Anak Didik Susah Belajar, Guru Bingung Mengajar

Koneksi internet menjadi hal yang sangat penting saat pandemi covid19 seperti sekarang ini. Adanya internet juga bisa membantu pembelajaran jarakjauh(PJJ). Namun berdasarkan data pokok pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) masih ada 12 ribu sekolah yang belum memiliki akses internet.

Direktur Pendidikan Menengah dan Pendidikan Khusus Kemendikbud Praptono mengatakan kendala minimnya jaringan internet ini terjadi di wilayah tertinggal, terdepan, terluar (3T). "Ketika kemudian anak anak masih sebagian besar memiliki kendala online karena di daerah 3T, yang secara umum persoalan listrik dan jaringan internet masih bermasalah," ujar Praptono dalam webinar Suara Guru, Kamis (22/10). "Dapodik menyatakan 12 ribu sekolah kita belum punya akses internet, dan kita lihat seluruhnya di daerah 3T.

Sementara 48 ribu satuan pendidikan punya problem jaringan yang tidak baik, ada tapi tidak baik ini juga mayoritas di 3T," tambah Praptono. Menurut Praptono, lemahnya jaringan internet ini membuat 95 persen guru memilih pembelajaran campuran antara daring dan luring. Hal ini diketahui berdasarkan hasil survei kepada guru yang dilakukan Ditjen GTK Kemendikbud bersama YayasanWahana Visi Indonesia (WVI).

"Di mana kurang kemampuan pembelajaran online penuh ditutupi atau diatasi dengan sesekali melakukan pembelajaran tatap muka," kata Praptono. Pada akhirnya lanjut Praptono, keterbatasan akses internet selama pandemi covid 19 memaksa guru untuk mengadaptasi teknologi digital. "Akhirnya semua guru mautidak mau harus bisa menjalankan pendidikan jarak jauh," ucap Praptono.

Meski begitu, Praptono mengungkapkan mayoritas guru di Indonesia masih memiliki kendala dalam melakukan pembelajaran berbasis teknologi informasi. Kendala iniyang membuat proses pembelajaran menjadi tidak optimal dijalankan oleh parapengajar. "Memang kemendikbud melakukan survei terkait PJJ. Salah satunya, kita dapatkan 60 persen guru kita punya permasalahan dalam pembelajaran IT," ungkap Praptono.

Praptono mengatakan Kemendikbud telah mencoba mencari solusi terhadap kendala yang ditemui selama penerapan pembelajaran jarak jauh di masa pandemi. "Seiring perjakanan waktu dan berbagai upaya dilakukan, misal dengan bantuan kuota, kemudian bimbingan teknis kepada guru, portal guru belajar, menyiapkan media bahan ajar, RPP, praktek baik, termasuk bantuan infrastruktur di sekolah," ujar Praptono. Seiring berjalannya waktu, Praptono mengungkapkan akhirnya terjadi penambahan pemahaman dan adaptasi guru terhadap pembelajaran jarak jauh yang berbasis teknologi digital. "Tren bahwa kemampuan guru untuk bisa take over kegiatan kegiatan akibat pandemi menunjukkan tanda tanda ke arah baik," pungkasPraptono.

Hasil survei Wahana Visi Indonesia dan Kemendikbud menunjukan mayoritas guru di Indonesia lebih memilih model pembelajaran jarak jauh. Education Team LeaderWahana Visi Indonesia Mega Indrawati mengatakan sebanyak 95 persen memilih pembelajaran jarak jauh atau pembelajaran campuran. "Soal strategi belajar dari 95 persen guru setuju akan pembelajaran jarak jauh atau blended learning,"ucap Mega.

Guru di daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T) lebih memilih pembelajaran jarak jauh luring dibanding daring. Mega menduga hal ini kemungkinan karena keterbatasan akses internet dan infrastuktur untuk pembelajaran secara daring. "Sementara guru untuk anak berkebutuhan khusus cenderung memilih pembelajaran daring," ujar Mega. Selain itu, hasil survei ini juga menemukan bahwa guru dalam mengatasi masalah dalam kegiatan belajar mengajar memilih berkonsultasi dengan teman sejawatnya di satu sekolah atau sekolah lain.

Sementara guru di daerah 3T cenderung kurang memiliki akses ke komunitas guru di satuan pendidikan. Terkait dengan kebutuhan pembelajaran yang efektif, dan pemanfaatan teknologi informasi, sebanyak 40 persen guru menyatakan butuh pelatihan. "Terkait TIK, 40persen guru 3T dan guru yang usianya lebih tua butuh pelatihan dasar TIK," kataMega.

Selain itu, guru di daerah 3T juga lebih membutuhkan kompetensi Pola Hidup Bersih Sehat (PHBS) sebanyak 54 persen. Sementara 31 persennya membutuhkan kompetensi tentang kurikulum. Bagi guru di wilayah non 3T, kompetensi psikososiallebih dibutuhkan. Guru pendidikan khusus juga membutuhkan kompetensi psikologis untuk mempersiapkan peserta didik. Survei dilakukan kepada 27.046 guru dantenaga kependidikan di 34 provinsi seluruh Indonesia. Survei dilakukan pada 18Agustus hingga 5 September 2020.

Responden guru dari wilayah Non 3T 95 persen dan 3T 5 persen. Sebanyak 74 persen merupakan guru dari pendidikan umum, sementara 26 persen dari pendidikan khusus atau inklusi. Berdasarkan wilayah, 52 persen responden guruberasal dari daerah risiko penularan Covid 19 tinggi, dan sisanya dari wilayah Covid 19 dengan penularan rendah. Wahana Visi Indonesia dan Kemendikbud jugamelakukan diskusi kelompok terarah yang melibatkan 47 orang perwakilan asosiasiguru, serta guru dari wilayah 3T, SLB dan kepala sekolah.

Berdasarkan hasil survei juga 76 persen guru merasa khawatir untuk kembali mengajar di tengah pandemi Covid 19. "Pendapat guru terkait pembukaan sekolah,temuan utama 76 persen responden guru menyatakan bahwa sekolah kurang amanatau tidak bisa diprediksi. Sementara 24 persen guru beropini akan aman dan kecilkemungkinan penyebaran virus," ujar Mega.

Guru di daerah tertinggal, terdepan,terluar (3T) cenderung menyatakan aman karena tingkat kasus Covid 19 di wilayahini lebih sedikit. Selain itu, ada tren guru usia yang lebih tua lebih khawatir dengan penularan Covid 19 di sekolah. "Jika dibandingkan dari gender, yang perempuan punya kekhawatiran yang lebih tinggi dibanding pria," kata Mega.

Guru pendidikan khusus inklusi lebih cenderung khawatir dibandingkan guru satuan pendidikan umum. Mega mengungkapkan hal hal yang menjadi kekhawatiran guru adalah transmisi Covid 19. Para guru khawatir menulari siswa atau sebaliknya guruyang tertular dari siswa. Serta kekhawatiran keluarga siswa maupun guru yangtertular.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *